Sabtu, 14 November 2009

bencana alam


berbagai bencana alam terjadi mendahului peringatan International Natural Disaster Day
(14 Oktober) tahun ini. Perserikatan Bangsa Bangsa menetapkan Rabu kedua pada
bulan Oktober sebagai peringatan hari bencana alam internasional. Tujuannya
menggugah kesadaran masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah
rawan bencana, agar waspada menghadapi potensi bahaya alam yang dapat berubah
menjadi bencana bagi manusia. Bagi bangsa Indonesia peringatan tersebut sangat
penting, mengingat seluruh wilayah Indonesia masuk dalam peta rawan bencana.
Wilayah Indonesia merupakan pertemuan empat lempeng raksasa yakni, Eurasia,
Indo-Australia, Pasifik dan Filipina. Gempa bumi yang memporak-porandakan
Sumatra Barat, pekan lalu merupakan wujud nyata dari bahaya alam yang masih
berpotensi terjadi di wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Realitas bencana memperlihatkan
kepada kita bahwa alam bukan saja pemberi kehidupan bagi manusia namun juga
berpotensi merenggut dan menghancurkan hidup manusia. Potensi atau risiko bahaya
(hazard) yang dikandung oleh alam dapat menjelma menjadi bencana (disaster)
ketika manusia yang hidup di lingkungan alam tidak peduli akan resiko bahaya itu.
Padahal resiko bahaya adalah bagian dari alam. Dan resiko bahaya itu akan
berubah menjadi bencana ketika ada interaksi dengan manusia.

Paradoks antara alam yang
memberi hidup dan sekaligus berpotensi menghancurkan kehidupan manusia memaksa
kita untuk sadar dan memeriksa kembali kondisi-kondisi kehidupan kita dalam
relasi dengan alam. Pertanyaan etis yang dapat diajukan menyangkut paradoks ini
adalah bagaimana manusia harus membangun sikap berhadapan dengan alam.

Prinsip "The Good Life"

Pada prinsipnya bahaya
adalah bagian dari alam. Aktualisasi bahaya alam akan bermakna bencana ketika
ada keterlibatan manusia di dalamnya. Hidup di Indonesia (terutama di bagian
Timur yang merupakan pertemuan antara empat lempeng raksasa) tentu mengadung
risiko yang berbahaya. Karena pertemuan lempeng-lempeng raksasa itu akan
mengakibatkan gempa yang dahsyat di permukaan. Risiko bahaya yang bersifat
alamiah ini tidak selalu akan menjelma menjadi bencana jika kita menyiapkan diri
untuk menghadapi risiko berbahaya yang mungkin ditimbulkannya.

Bencana alam tidak selalu
bersifat alamiah, karena bencana dapat juga dipicu oleh perilaku manusia.
Eksploitasi sumber-sumber alam secara berlebihan, ledakan jumlah penduduk yang
menuntut pemekaran tempat pemukiman ke wilayah-wilayah yang ekosistemnya rawan,
penggunaan teknologi beremisi karbon tinggi adalah perilaku-perilaku yang dapat
memicu terjadinya perubahan iklim dan meningkatnya permukaan laut.
Bencana-bencana baru inilah yang siap kita tuai jika kita tidak segera
memperbaharui pola perilaku kita terhadap alam. Kita harus segera berhenti
menempatkan alam sebagai objek kesenangan belaka.

Prinsip kebaikan - the good
life-
yang menjadi prinsip etis bagi kehidupan sosial manusia harus
diperluas hingga mencakup keseluruhan alam. Perluasan prinsip the good life
yang mencakup alam berpeluang memperbaiki berbagai kerusakan yang
ditimbulkan oleh manusia.

Prinsip the good life
mengawali perubahan perhatian para filsuf dari alam ke manusia. Akibatnya
prinsip ini hanya dimaknai dalam konteks manusia dan relasinya dengan sesama
manusia. Bagi kehidupan sosial, prinsip ini menghadirkan banyak perbaikan
menyangkut hidup manusia. Prinsip etis ini mendorong lahirnya konsep-konsep baru
yang penting bagi kemanusiaan seperti pengakuan atas hak dan kebebasan individu,
sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi berbasis industri yang pada
gilirannya mengubah pola konsumsi manusia.

Pemaknaan prinsip the good
life
secara sempit jelas-jelas mengabaikan alam sebagai entitas yang tidak
bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku
manusia yang mengobjektifikasi alam berangkat dari tujuan mencapai the good
life
bagi umat manusia. Dengan alasan mencapai kebaikan hidup, manusia
menjadikan alam sebagai alat pemuasan kesenangan. The good life tidak
dipahami sebagai tercapainya kualitas kemanusiaan (quality of life) namun
lebih dipahami sebagai pencapaian standar kehidupan (standard of living).

Demi mengejar apa yang dimaknai
sebagai the good life, dalam pengertian standard of living manusia
memberikan makna baru bagi benda-benda yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhannya. Kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer yang harus dikejar
demi mencapai tuntutan standar kehidupan yang "layak". Rumah sebagai tempat
berteduh yang nyaman diartikan sebagai bangunan mewah yang terbuat dari beton
yang kokoh yang didirikan dikawasan perbukitan yang indah namun menyimpan
potensi bahaya karena rawan longsor.

Prinsip the good life
membutuhkan pemaknaan baru. Kebutuhan manusia pada alam memang tidak bisa
dielakkan namun kepunahan alam karena ekspolitasi berlebih yang dilakukan
manusia harus dieliminir. Dengan demikian the good life berarti
menempatkan alam sebagai mitra sejajar yang kebutuhannya juga harus dipahami.
Itu berarti manusia harus membangun budaya baru berkaitan dengan alam.

Alam sebagai Sahabat

Budaya baru yang harus
dibangun adalah budaya yang menempatkan alam sebagai sahabat manusia. Alam perlu
dipahami agar kehidupan manusia dalam dunianya tidak menuai bencana. Penafsiran
alam yang kejam harus diganti menjadi alam sebagai mitra sejajar manusia.
Alih-alih menjadikan alam sebagai objek yang harus ditundukkan sewajarnyalah
manusia menjadikan alam sebagai sahabat yang perlu dipahami dan dimengerti irama
dan pola kehidupannya. Dengan menempatkan alam sebagai sahabat manusia,
kelestarian manusia di alam menjadi lebih berpeluang.

Namun patut diingat juga bahwa
alam sebagai masa depan bukan tanpa risiko. Risiko-risiko itulah yang harus
dihadapi dengan bijaksana. Manusia yang memandang alam sebagai masa depan harus
siap menghadapi risiko bahaya yang memang merupakan kodrat alam. Membangun
budaya hidup bersama alam adalah pilihan bijak yang memberikan peluang bagi
manusia untuk terhidar dari bencana yang mungkin ditimbulkan oleh alam. Hidup
bersama dengan alam berarti manusia wajib memiliki pengetahuan yang cukup
tentang alam yang dimukiminya.

Alam dengan hukumnya berpotensi
membahayakan kehidupan manusia dan bahaya akan berubah menjadi bencana jika kita
tidak siap menghadapinya. Ratusan korban jiwa pada bencana di Sumatra tidak siap
menghadapai bahaya karena mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang
alam mereka dan potensi bahayanya. Reruntuhan rumah beton dan longsoran tanah
sebagai penyebab utama kematian ratusan manusia merupakan petunjuk bahwa masyara-
kat tidak memiliki pengetahuan yang cukup.

Mengembangkan budaya hidup
bersama alam adalah tuntutan yang harus segera direalisir mengingat potensi
gempa masih akan terus terjadi di tahun-tahun mendatang. Pendidikan tentang
resiko bahaya alam harus menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat kita. Dengan
pengetahuan itu masyakat tahu bahayanya membangun rumah beton yang tidak tahan
gempa atau bahayanya bermukim di wilayah rawan longsor dan sebagainya.

Relasi manusia dan alam memang
memuat risiko-risiko yang membahayakan bagi manusia. Risiko-risiko yang bersifat
alamiah itu tidak harus menjadi bencana bagi manusia jika manusia cermat
menangkap dan memahami gejala-gejala alam. Menjadikan alam sebagai sahabat
manusia membuat kita siap menghadapi risiko bahaya yang dikandung alam dan
sedapat mungkin menghindari bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar